Tegal - Pencinta kuliner tradisional, penikmat suasana asri desa dan pendamba udara sejuk pegunungan rasanya wajib untuk datang ke Pasar Slumpring di Desa Cempaka, Kecamatan Bumijawa, Kabupaten Tegal, Jawa Tengah. Di pasar ini, tiga hal itu bisa direngkuh sekaligus.
Desa Cempaka berjarak sekitar 30 kilometer dari pusat kota Slawi dan bisa diakses menggunakan sepeda motor maupun mobil. Wilayahnya berada di kaki Gunung Slamet. Sepanjang perjalanan ke desa ini akan melalui jalan aspal yang naik turun dan berkelok dengan panorama perbukitan hijau dan sawah terasering.
Udara sejuk dan suasana khas pedesaan langsung menyambut ketika menyusuri jalan desa yang menjadi akses menuju Pasar Slumpring dari Jalan Raya Bumijawa-Tonjong. Sambutan ramah juga terasa saat melewati warga desa yang sedang bercengkerama di depan rumahnya maupun ketika berpapasan di jalan.
Jalan yang cukup dilewati mobil itu berujung di gerbang bertuliskan Desa Wisata Cempaka. Setelah membayar tiket masuk dan parkir, tak jauh dari gerbang terdapat tanah lapang yang dikelilingi rimbun pohon bambu. Di tengah-tengah kebun bambu inilah Pasar Slumpring berada. Pasar ini hanya buka tiap hari Minggu dari pukul 07.00-14.00 WIB.
Slumpring adalah daun yang menempel di batang bambu atau dalam bahasa Jawa disebut pring. Seperti namanya, bambu menjadi kekhasan Pasar Slumpring yang membuatnya berbeda dengan pasar tradisional pada umumnya. Selain tumbuh rindang di sekeliling pasar, ornamen di pintu masuk, meja yang digunakan para pedagang untuk berjualan dan tempat duduk untuk pengunjung juga menggunakan bambu.
Satu lagi kekhasan pasar ini adalah alat pembayaran yang digunakan pengunjung untuk bertransaksi. Sebelum memasuki pasar, pengunjung yang hendak belanja wajib menukarkan uang tunai atau nontunai dengan semacam koin yang terbuat dari potongan bambu di tempat penukaran yang ada di pintu masuk. Nama alat pembayaran unik ini irad. Satu irad nilainya Rp 2.500.
Dengan koin atau uang bambu itu, pengunjung bisa berkeliling pasar dan membeli bermacam makanan dan jajanan tradisional khas pedesaan yang sudah jarang dijumpai di kota. Di antaranya gethuk, awul-awul, blendung, bubur blohok, dan gemblong.
Pasar Slumpring unik dan seru. Makanan tradisionalnya macam-macam dan enak, minumannya juga lengkap.
Menikmati aneka kuliner tempo dulu yang menggoda selera tersebut, pengunjung seperti dibawa untuk bernostalgia ke masa kecil ketika makanan dan jajanan modern belum banyak bermunculan. Suasana tradisional kian terasa karena para ibu-ibu penjualnya menggunakan pakaian lurik berpadu kain jarik dan caping.
Sembari melahap makanan dan jajanan dengan lesehan atau duduk santai di batang-batang bambu, pengunjung juga akan dihibur dengan lagu-lagu populer yang dimainkan oleh anak-anak muda desa setempat. Mereka menamakan kelompok musiknya Amuba, akronim dari alunan musik bambu.
Salah satu pengunjung asal Yogyakarta, Afin, 28 tahun, mengatakan, Pasar Slumpring memiliki keunikan tersendiri sehingga membuatnya tertarik datang untuk berwisata kuliner di desa.
"Pasar Slumpring unik dan seru. Makanan tradisionalnya macam-macam dan enak, minumannya juga lengkap. Di sekitar pasar juga ada arena bermain juga, jadi bisa bawa anak ke sini," ujarnya kepada Tagar, Minggu, 16 Februari 2020.
Menurut Afin pengunjung yang datang juga tak perlu khawatir jika kebetulan tak membawa uang tunai dan tak sempat ke ATM. Sebab, Pasar Slumpring sudah melayani pembayaran nontunai menggunakan CR code Bank Indonesia (QRIS) di tempat penukaran uang, parkir, dan toilet. Artinya, cukup menggunakan aplikasi pembayaran digital di telepon seluler sudah bisa melakukan transaksi pembayaran.
"Perjalanan ke sini tadi tidak ada ATM, dompet juga tidak ada uang, aku bingung pakai apa bayar dan tukar uang dengan koin bambunya. Untungnya sudah ada QRIS, jadi bisa langsung scan barcode pakai OVO. Jadi tak perlu repot bawa uang tunai banyak," ujar perempuan berjilbab ini.
Salah satu pedagang, Wanifah, 46 tahun, menuturkan, rata-rata makanan tradisional yang dijual berharga dua koin bambu. "Semuanya buatan sendiri untuk dijual di sini tiap hari Minggu saja," ujar Wanifah yang menjual gethuk dan benden.
Bagaimana? Tertarik mencicipi kuliner ala desa yang enak dan murah di Pasar Slumpring? datanglah pagi-pagi sekali. Sebab, banyaknya pengunjung yang datang tiap pekannya membuat kuliner yang dijajakan sering kali cepat habis.
Berawal dari Konservasi Mata Air
Ketua Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Desa Cempaka Abdul Khayi mengungkapkan Pasar Slumpring dibuka sejak 2018, setahun setelah pembukaan Desa Wisata Cempaka.
"Di Pasar Slumpring orang bisa menemukan kuliner ala desa yang di kota sudah sangat langka, Sambil menghirup udara segar dan mendengarkan musik," kata Khayi.
Menginjak tahun ketiga, Pasar Slumpring masih ramai didatangi pengunjung, baik dari Kabupaten Tegal maupun luar daerah. Jumlah pengunjung pada hari Minggu maupun libur panjang bisa mencapai 1.200 orang. Sedangkan omzet pedagangnya rata-rata mencapai Rp 1,5 juta dalam setengah hari.
"Kalau jumlah pedagangnya sampai saat ini ada 70 orang. Untuk berjualan di Pasar Slumpring syaratnya hanya dua, yaitu warga asli Desa Cempaka dan mematuhi aturan pengelola. Kalau di luar Pasar Slumpring kami bebaskan,” ujarnya.
Di Pasar Slumpring orang bisa menemukan kuliner ala desa yang di kota sudah sangat langka, Sambil menghirup udara segar dan mendengarkan musik.
Khayi menuturkan Desa Wisata Cempaka bermula dari gagasan konservasi tujuh mata air yang mengairi 200 hektar sawah. Upaya itu dilakukan pemerintah desa dengan membentuk Cempaka Pecinta Alam (Cempala). Lembaga ini bertugas melakukan penghijauan dan normalisasi mata air.
"Kami punya tujuh mata air, saya khawatir kalau dibiarkan, nasibnya sama dengan mata air di desa lain yang mati karena tidak terpelihara dengan baik. Makanya dulu yang kami bentuk awal adalah Cempala," ujar Khayi yang pada saat pembentukan Cempala menjabat kepala desa.
Salah satu mata air yang dikonservasi adalah Tuk Mudal. Sumber air ini awalnya tidak terawat dan hanya berfungsi sebagai sumber pengairan sawah warga. Setelah dilakukan konservasi tahun 2014, antara lain dengan penanaman pohon dan pembanguan talut mengelilingi areal mata air, keberadaannya mengundang warga luar desa untuk datang.
Potensi ini kemudian digarap secara maksimal untuk meningkatkan perekonomian warga dan menjadi sumber pendapatan desa. "Setelah mata air itu kami buat sedemikian rupa, ternyata banyak pengunjung yang datang untuk selfie, sehingga akhirnya memberi semangat kami membentuk lembaga Pokdarwis untuk mengelola potensi wisata di Desa Cempaka, mulai dari Tuk Mudal sampai Pasar Slumpring," sebut dia.
Setelah dikelola sebagai destinasi wisata, Tuk Mudal yang berada satu kawasan dengan Pasar Slumpring kini sudah dilengkapi sejumlah sarana. Seperti gazebo untuk bersantai, perahu gethek untuk mengelilingi area mata air, arena bermain anak, dan spot untuk berfoto.
Rencananya, kata Khayi, kawasan tersebut nantinya juga dilengkapi pasar apung dan atraksi air mancur pada malam hari. Hal ini akan semakin menambah pilihan destinasi wisata di Desa Cempaka bagi pengujung. Sekaligus dapat meningkatkan tingkat kunjungan wisata.
"Jadi ini akan jadi paket wisata. Malam lihat air mancur menari, paginya sarapan di Pasar Slumpring. Kami sudah punya 40 homestay berupa rumah-rumah warga yang bisa ditempati pengunjung yang ingin menginap," sebut dia. []
Baca cerita lain:
Berita terkait
"tradisional" - Google Berita
February 24, 2020 at 06:00AM
https://ift.tt/39Ubxco
Menikmati Kuliner Tradisional Pasar Slumpring Tegal - Tagar News
"tradisional" - Google Berita
https://ift.tt/36vD17m
Shoes Man Tutorial
Pos News Update
Meme Update
Korean Entertainment News
Japan News Update
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Menikmati Kuliner Tradisional Pasar Slumpring Tegal - Tagar News"
Post a Comment